Paradoks Pernikahan dan Status Sosial

    

    Beberapa di antara kita beruntung menikah dengan orang yang dicintai dan saling mencintai. Atau menikah dengan yang mulanya salah satu tidak mencintai lalu seiring waktu berjalan bisa saling mencintai. Bahkan mungkin yang mulanya sama-sama tidak saling mencintai, kemudian bisa saling mencintai juga. Namun, ada sebagian orang-orang yang bahkan tidak saling mencintai kemudian terpaksa menikah, dan seumur hidupnya bahkan mereka benar-benar tidak saling mencintai. Sepertinya tidak keliru ada istilah, "Kau bisa menikah dengan siapapun, namun kau tidak bisa memilih cintamu untuk siapa."

    Belakangan ini beberapa media memberitakan soal penurunan angka pernikahan dalam satu dekade terakhir. Sebagai orang yang belum menikah di usia yang sudah lebih dari seperempat abad, aku tentu merasa menjadi salah satu penyebab penurunan angka pernikahan tersebut. Namun, aku tidak tahu dan juga penasaran kenapa hal itu terjadi. Kemudian aku juga mengamati beberapa perempuan di sekitarku, yang juga masih banyak yang belum menikah di usia yang sudah dipandang matang oleh masyarakat.

    Di mata sebagian masyarakat, baik perempuan ataupun laki-laki yang dianggap berusia sudah cukup matang namun belum menikah, biasanya akan menjadi bahan perbincangan dan menyayangkan kenapa belum juga menikah. Bagi aku pribadi, menikah bukan hanya untuk sekedar "ngumumi" atau mengubah status sosial di mata masyarakat. Pernikahan bagiku bukan tujuan utama kehidupan, tapi memang boleh jadi sebagai bagian dari perjalanan kehidupan kita di dunia.

Bagaimana aku memandang sebuah pernikahan?

Sebagai orang yang belum menikah di usia yang sudah lebih dari 25 tahun aku tidak tahu apakah aku layak atau tidak menulis ini. Namun, di sini aku memang hanya berbagi pemikiran secara subjektif. Aku juga tidak berharap semua orang setuju dengan pemikiranku. Jadi, sebagai seorang yang belum menikah, aku memandang bahwa pernikahan bukan hal yang menjadi tujuan utama dalam kehidupan ini. Bahwa menikah juga bukan semata-mata solusi dari segala permasalahan hidup. Dengan menikah, kita justeru akan menambah masalah, ya meski kita bisa mengartikannya sebagai ujian pernikahan. Ya meski kita bisa juga bilang, "setidaknya bila banyak masalah dihadapi bersama pasangan daripada dihadapi sendirian."

Aku memandang pernikahan adalah salah satu keputusan besar yang kita ambil dalam melengkapi kehidupan kita di dunia. Ketika menikah, kita tentu akan menghabiskan sebagian atau bahkan hampir separuh dari kehidupan kita di dalam pernikahan. Meski tidak ada jaminan ketika kita menikah, kita akan bersama dalam pernikahan sampai akhir hayat kita. Pernikahan bukanlah peristiwa remeh yang dilakukan tanpa persiapan. Barangkali, ada yang berpikir kalau pernikahan adalah sebuah pencapaian, ada juga yang menganggap bahwa pernikahan adalah akhir dari sebuah perjalanan.

Cinta itu rezeki, menikah itu pilihan

Kita tidak bisa menolak anugerah perasaan dari Tuhan di dalam hati kita. Kita juga tidak tahu kepada siapa cinta kita akan diberikan. Bisa jadi kita dianugerahi cinta kepada seseorang yang tidak bisa menikah dengan kita. Bisa jadi pula kita menikah dengan seseorang yang tidak kita cintai, sambil berharap bahwa seiring waktu berjalan Tuhan akan memberi rezeki itu di dalam pernikahan kita. Namun, aku termasuk orang yang percaya bahwa jodoh adalah sebuah takdir yang dapat diubah, dengan doa dan ikhtiar yang sungguh-sungguh.

Di sisi lain, ada banyak orang juga yang memilih dan memutuskan untuk tidak menikah. Aku tentu tidak tahu apa alasan mereka di balik keputusan tersebut. Namun, itu membuktikan anggapanku bahwa cinta itu rezeki dan menikah adalah pilihan. Bukan berarti orang-orang yang memutuskan untuk tidak menikah itu tidak pernah merasakan perasaan cinta. Tentu saja kemungkinan sebagian dari mereka pernah juga merasakan cinta, tetapi kemudian memutuskan untuk tidak menikah.

Menikah bukan hanya sekedar mengubah status

Di agama yang aku anut, yaitu agama Islam, pernikahan adalah salah satu momen yang sangat sakral. Bahkan, bagiku menikah adalah ibadah seumur hidup sejak kita memulainya. Meskipun aku saat ini belum menikah, tapi aku belajar dan mecermati pernikahan orang tuaku, juga pernikahan beberapa temanku. 

Sangat disayangkan, bila niat pernikahan itu hanya sekedar 'Aku mencintaimu dan kamu juga mencintaiku, mari kita menikah'. Karena, aku belajar bahwa sebelum kita menikah, sebaiknya kita meluruskan niat dulu. Untuk apa kita menikah lalu bagaimana kita berupaya untuk menjalani pernikahan itu perlu juga kita pikirkan sebelumnya. Bagiku, menikah bukan sekedar saling mencintai, kemudian berhubungan seksual, kemudian mempunyai anak. Meskipun pada umumnya memang seperti itu. Bila suatu saat aku menikah, aku bukan sekedar mengubah statusku di mata masyarakat, aku ingin memastikan bahwa ketika akan menikah, aku dan dia berniat untuk memulai ibadah bersama seumur hidup.

    Pada akhirnya, aku menyimpulkan bahwa menjalani pernikahan adalah bagaimana kita meniatkan pernikahan itu. Aku ingin menikah bukan karena tekanan siapapun, bukan karena teman-temanku kebanyakan telah menikah, bukan karena saudaraku yang lebih muda telah menikah lebih dulu, bukan karena aku disuruh oleh orang tuaku untuk bersegera menikah.

    Aku memandang penting untuk meluruskan niat sebelum menikah supaya pernikahanku nanti dirahmati, keluargaku nanti diberkahi, pernikahanku nanti diridhoi. Bukan sekedar mengubah statusku saja dan berharap kebahagiaan semata. Aku berharap bisa menjadi seorang ibu yang baik dan istri yang mendapatkan ridho suami. Tentunya, juga aku berharap apa yang aku tulis dan sampaikan di sini dapat berguna untuk siapapun yang membaca.

(fa.)

    


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiba-tiba Banget Aku Jadi Pasien Dokter Spesialis Jiwa

3 Tahap Pertama Untuk Menjadi Penganut Filsafat Stoikisme (Stoic)