Memaafkan Orang Tua

    
    Aku berhenti komplain soal orang tuaku ketika aku sadar bahwa mereka mengenalku seumur hidup mereka, sementara aku mengenal mereka bahkan tidak sampai lebih dari setengah usia mereka saat ini. Ayahku 52 tahun sekarang, Ibundaku sudah meninggal dunia di usia 46 tahun, pada September 2020, saat pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia.

    Dulu, hingga kini aku menyadari dan memutuskan untuk berhenti komplain, aku selalu menyimpan rasa kesal pada orang tuaku, tentang banyak hal. Mungkin itu bisa disebut juga aku punya penyakit hati. Aku banyak komplain dan tentu juga banyak pertanyaan-pertanyaan di kepalaku. Kenapa Ayah Ibu mau punya banyak anak ketika orang tua mereka bahkan beberapa kali meminta mereka untuk mengikuti program KB supaya tidak terlalu banyak anak, kenapa Ayah Ibu tidak mengambil berbagai kesempatan dari beberapa privilage atau keistimewaan yang mereka punya, padahal mereka juga kuliah, mereka ada banyak teman. Kenapa Ayah Ibu tidak takut miskin atau khawatir tidak mampu menafkahi anak-anak. Kenapa mereka tidak ada kekhawatiran tentang bagaimana masa depan anak-anaknya. Kenapa mereka begitu santai, terutama Ibuku. Aku rasa, bukan hanya itu, cukup banyak pertanyaan yang aku belum temukan jawaban. Pertanyaan yang cukup banyak itu ada seiring waktu aku bertumbuh. Tapi aku mengerti, tidak semua pertanyaan mendapatkan jawaban seketika.

    Tentunya, mereka punya banyak cerita yang tidak aku ketahui. Tidak adil rasanya menghakimi mereka hanya karena beberapa hal yang tidak sesuai dengan preferensiku saat ini. Sebanyak apapun buku yang pernah kubaca, entah itu tentang parenting dan sebagainya, tidak pantas rasanya jika pengetahuan ini untuk dibandingan dengan berbagai kekurangan yang ada pada orang tuaku dalam mendidik kami sejak kecil sampai kami sudah tumbuh dewasa.

    Tidak aku pungkiri bahwa aku punya begitu banyak kemarahan kepada orang tuaku seiring waktu aku tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Lagipula aku bukan semacam orang yang lugas dalam mengungkapkan rasa marah, jadi, aku sering simpan di dalam hatiku. Sekarang aku tahu rasanya, amarah seorang anak pada orang tua pasti akan menjadi penyesalan, apalagi amarah itu terpendam lama di dalam hati, dan penyesalan adalah neraka terdalam dalam kehidupan.

    Untuk yang mungkin pernah merasakan sepertiku, berat, sedih, menyimpan amarah terhadap orang tua, aku berharap untuk kalian segera mendapatkan perasaan rida. Maafkanlah masa lalu, maafkanlah orang tua yang paling kamu anggap bersalah. Mulailah dengan berbicara ringan kepada mereka, lalu sampaikan kekecewaan masa kecilmu, apa pun itu, bila perlu menangislah di depan mereka, runtuhkan benteng kokoh di dalam hatimu, lalu maafkan, lepaskan, dan pintalah mereka memelukmu.

    Sadarilah, pemahaman mereka yang hidup di zaman itu sangat berbeda dengan kita yang hidup di zaman sekarang, yang begitu mudah mengakses pengetahuan dan informasi. Zaman dulu orang tua kita tidak tahu apa itu internet. Tidak ada yang mengajari mereka apa itu ilmu parenting, yang tentunya seiring waktu berjalan, berbagai ilmu akan terus berkembang. Informasi yang bisa mereka dapatkan sangat terbatas, yang mereka tahu, mereka harus bekerja keras untuk menafkahi anak-anaknya, yang penting bisa makan dan sekolah. Mereka bekerja keras untuk mencarikan biaya sekolah dan lain sebagainya.

    Maka, penerimaan yang baik, penerimaan yang tulus, akan membuat kita merasa rida. Sentuh dada dengan kedua telapak tangan sembari ucap, "Aku ikhlas, aku rida, bahwa semua yang terjadi berjalan atas kehendak-Nya". Dan sangat lega rasanya setelah kita rida lalu memaafkan segala hal yang ada di masa lalu. Akan jadi lebih ringan langkah-langkah kita selanjutnya.

(fa.)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenalan Sama Gaya Hidup Minimalis

Menjadi Penganut Filsafat Stoikisme

Menemukan Kenyamanan Dengan Diri Sendiri, Bukan Berarti Kesepian