Resensi Novel Tereliye : Ayahku (Bukan) Pembohong

RESENSI NOVEL

Kisah Mengharukan Hubungan Ayah dengan Anak Laki-lakinya

Judul Buku    : Ayahku (Bukan) Pembohong

Pengarang    : Tere Liye (Nama Pena)

Penerbit        : PT Gramedia Pustaka Utama

Tebal             : 304 Halaman 20 cm

Ukuran          : 15 X 20

Desain dan

Illustrator       : Lambok Hutabarat

ISBN              : 978-979-22-6905-5                                                                 

    Saat ini, banyak sekali novel-novel Indonesia dengan ciri khas masing-masing sesuai pengarangnya. Setiap novel berbeda-beda pada diksinya (gaya bahasa). Perkembangan novel di Indonesia cukup pesat, banyak novelis baru yang terus bertambah tahun demi tahun. Di dalam novel ini, berisi cerita yang menggambarkan kesederhanaan, hakikat kebahagiaan yang sejati, hubungan keluarga yang mengharukan dan hikmah yang sangat bermanfaat.

    Untuk mendapatkan hikmahnya membuat hati kita lapang, kita tidak cukup dengan membaca novel ini saja, tidak cukup hanya membaca buku-buku, mendengarkan petuah, nasihat ataupun ceramah, tidak cukup hanya mengenyam pendidikan sekolah atau menjadi bintang kelas. Namun, hikmah dan kebahagiaan di dunia bisa tercapai dengan membangun benteng diri, menjauh dari yang bersifat keduniawian, melatih hati di siang maupun malam. Hidup sederhana, apa adanya, serta selalu ikhlas menerima adalah jalan tercepat untuk melatih hati di tengah riuh rendah kehidupan di masa kini.

    Kita ini tidak bisa menerka apa yang ada pada masa depan. Ketika kita bisa berdiri dengan seluruh kebahagiaan hidup dan kesahajaan, menatap kesibukan di sekitar, dan melewati hari-hari berjalan, bersama keluarga tercinta dan kawan-kawan yang saling menyayangi. Itu adalah anugerah kebahagiaan yang seringkali tidak kita anggap. Dan yang perlu kita pahami dari dalam novel ini, bahwa kebahagiaan itu tidak hanya pada kemewahan juga ketenaran. Bahkan bahagia, akan sangat dirasa ketika ada pada kesulitan.

    Di dalam novel ini, terkisah tentang seorang anak yang di besarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang kebahagiaan yang benar-benar sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu di novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk menjelaskannya. Mari mulailah membaca novel ini dengan hati yang lapang. Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita?. Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan kita terakhir bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, lantas bilang kita sungguh sangat bangga padanya?. Dan saat tiba di halaman terakhir membaca novel ini, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita masing-masing jika beliau masih ada, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak sempat mengatakannya pada ayah. Ayah kita yang sungguh sangat hebat.

    Dam berhenti mempercayai cerita-cerita ayahnya ketika ia berusia 20 tahun. Maka malam ini, ketika ayah dengan riang menemani anak-anak Dam, Zas dan Qon, menceritakan kisah-kisah hebatnya pada masa mudanya, Dam hanya bisa menghela nafas tidak suka. Ingin sekali menyela cerita ayahnya, bahwa Zas dan Qon besok harus bangun pagi-pagi, atau dengan alasan lainnya, mulai dari yang masuk akal hingga yang dibuat-buat. Sayangnya, istri Dam sudah memberikan kode di balik buku tebal yang dibacanya. Kode itu bilang dengan tegas, biarkan ayah menikmati sedikit waktu dengan kedua cucu menggemaskannya.

    Ayah tertawa, terbatuk sedikit ketika bercerita. Dam sudah menduga, Zas dan Qon pasti bergegas berebut  mengambilkan segelas air minum, sama seperti saat Dam masih terbilang anak-anak, yang juga semangat memijat ayah, mengambilkan air minum, dan mengerjakan pekerjaan rumah seperti mengepel, menyapu, melakukan apa saja yang disuruhnya, harga atas kisah-kisah hebat dari ayah.

    Namun, Ia tidak mau kedua anaknya, Zas dan Qon mendapat cerita-cerita konyol dari ayahnya sama seperti ia waktu kecil. Tentang suku penguasa angin, tentang lembah Bukhara, tentang apel emas, tentang Sang Kapten El-Capitano atau El-Prince, dan cerita-cerita yang lain. Ia ingin anak-anaknya dididik dengan disiplin, konsisten, dan pendidikan wajar sebagaimana mestinya, bukan dengan dongeng-dongeng yang semua itu adalah bohong. Cukuplah ia saja yang dibohongi oleh cerita-cerita ayahnya, begitu pikir Dam.

    “Zaman telah berubah, Ayah”, begitu kata yang ingin diucap Dam suatu waktu saat ayahnya usai bercerita tentang Lembah Bukhara pada Zas dan Qon. Namun tidak jadi karena ia tidak ingin menyinggung ayahnya.  Ia menganggap cerita-cerita itu hanya ayahnya yang membual. Itu semua tidak kenyataan. Ayah berbohong, katanya ayah pernah makan buah apel emas di lembah Bukhara, ayah bersahabat dengan Sang Kapten, ayah pernah dibantu Sang Penunggang Angin, namun ia yakin ayah adalah pembohong.

    Memang, orang-orang diluar sana, sangat menghormati ayah meski keluarga Dam hanya keluarga sederhana. Orang-orang menganggap ayah orang jujur dan sangat bersahaja. Tak ada mobil di rumah mereka. Ayah adalah sosok sederhana. Ayah bahkan menceritakan bahwa ibunya dulu pernah menjadi bintang televisi. Ayah bercerita mengenal El- Capitano, ayah mengaku bahwa ia adalah sahabatnya ketika ayah masih kuliah menghabiskan beasiswanya pada Fakultas Hukum di salah satu universitas terkenal di Kanada. Tapi semua bohong. Bagi Dam semua itu bohong.

    Waktu itu, enam bulan ayah tinggal bersama Dam. Waktu itu, istrinyalah yang meminta agar ayahnya tinggal bersama, ayah sudah tua, hidup sendiri di rumahnya, sementara ibu sudah tiada. Namun agak berat hati Dam sebelum mengizinkan. Dengan alasan, pasti ayah akan bercerita pada anak-anaknya tentang cerita-cerita hebatnya. Tentang cerita-cerita bohongnya. Bercerita pada Zas dan Qon bahwa ayah mereka dulu pernah bersekolah di Akademi Gajah. Namun istrinya mendesak, maka Dam tak punya pilihan lain.

    Tetapi malam itu semuanya harus berakhir. Masih segar dalam ingatan, Dam mengancam ayahnya, agar ia berhenti bercerita di bawah atap rumahnya. Berhenti bercerita kebohongan. Gerimis membasuh kota saat Ayah pulang entah dari mana. Ayah menepuk-nepuk jaket lusuhnya yang terkena gerimis, menyapa Dam dan istrinya dengan riang. Ayah segera tau ada masalah ketika melihat Dam. Ayah duduk di salah satu kursi.

    Ayah tau persis Dam tidak suka cerita-cerita itu. Ayah hanya menatap Dam datar. Namun terlihat bahwa ayah menahan marah, saat dikatakan cerita-ceritanya itu adalah bohong. Saat perdebatan semakin melonjak, ayah memilih mengalah, “Baiklah”, begitu kata ayah Dam, sambil berjalan menuju pintu keluar. Zas dan Qon yang sedari tadi menyimak perdebatan itu dari kamarnya, segera keluar menghambur pada kakekya. Mareka menangis, Ayah hanya menatap dengan  teduh wajah cucunya. “Ayah tidak akan hujan-hujanan, bukan? Setidaknya, biar aku mengantar ayah pulang,”  begitu kata istri Dam sambil terisak karena menangis, tak kuasa menahan ayahnya akan pergi. “Tidak usah. Aku akan menumpang angkutan umum. Mereka mungkin mau mengantar orang tua ini sampai ke rumah.” Ayah menggeleng. “Selamat tinggal”. Jaket lusuh ayah menghilang di balik pintu. Petir membuat halaman terang sejenak, disusul gemerutuk guntur. Dam menatap datar.

    Namun yang mengagetkan Dam, seorang tetangga memberitahukan, ayahnya ditemukan tergeletak di dekat makam ibunya. Paginya, ayah dimakamkan. Dam tidak pernah melihat keramaian seperti ini sebelumnya di kota, mengalahkan keramaian kejuaraan renang, festival kembang api, mengalahkan keramaian tur Sang Kapten dua puluh tahun silam. Antrean pelayat mengular panjang. Ia juga dikejutkan oleh sesuatu yang menakjubkan dan membuatnya terpana. Mata Dam tiba-tiba basah oleh air mata. Seketika Dam tau dan menyadari, bahwa “AYAHNYA BUKAN PEMBOHONG”.

    Meskipun Tere Liye hanya menyuguhkan cerita fiktif dalam bentuk sederhana, namun dalam cerita itu memuat banyak pesan yang menakjubkan. Tere Liye tidak banyak menyuguhkan lebih rinci masing-masing karakter tokoh, namun Tere Liye mampu membuat novel yang sederhana tersebut menjadi sesuatu yang mengharukan. Dan dari sederhana itu dekat sekali dengan ketulusan dan ketulusan itu kunci utama untuk membuka pintu hati. Tere Liye selalu ingin mempersembahkan karya terbaiknya. Pemilihan coverbooknya juga bagus, menarik, meskipun biasanya akan rilis ulang coverbook secara berkala. Novel ini alurnya maju mundur (alur campuran), hingga mungkin bisa membuat bingung pembacanya yang kurang bisa memahami ceritanya.

(fa.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenalan Sama Gaya Hidup Minimalis

Menjadi Penganut Filsafat Stoikisme

Menemukan Kenyamanan Dengan Diri Sendiri, Bukan Berarti Kesepian