Kampung Halaman

           
    "Kehidupan adalah perjalanan panjang. Bahan bakarnya adalah harapan. Takdir adalah jalan yang harus ditempuh namun terkadang tak selamanya mulus. Ada kelokan, terjal, berbecek, dan kadang banyak tikungan tajam yang membahayakan." 
 
    Inilah sebuah kisah perjalanan manusia. Menempuh keinginan namun jalan takdir selalu berpihak lain dari keinginan. Menyuruh manusia untuk belajar tentang penerimaan. Tiga orang yang hidup di sebuah negara entah, dunia entah dan berumur entah. Namun, ketiganya mempunyai keinginan dan hasrat yang sama. Di waktu yang sama, ketiganya merasa bosan. 
    Kau bosan?” tanya Aine.     
    Jofan menjawab pendek, “Iya. Dan kau? 
    Iya, balas Aine. 
    Kau bosan?” tanya Aine dan Jo bersamaan. 
    Danis bilang, “Iyaaa….” Mereka diam sejenak. Memikirkan mengapa mereka bosan. Memikirkan cara untuk keluar dari kebosanan itu. Tiba-tiba otak Jofan yang bekerja mengeluarkan ide
    Bagaimana kalau kita berpetualang?” usul Jofan bersemangat.     
    Ke mana?” balas Aine malas.  
    Ke suatu tempat."                                                                                                               Di mana?”                                                                
    Di mana saja."              
    Nama tempatnya?”            
    Aku tidak tahu.”           
    Hei, bagaimana kau mengajak kami jika kau tidak tahu? tanya Aine dengan kesal. Jofan menjawab santai, “Ya, setidaknya aku punya keinginan, kan.” Aine membalas, Keinginan tidak cukup, aku butuh kejelasan!
    Bebas Ain! Kita bisa ke mana saja kan, asal tidak di sini. Kau mau ke mana?
    Aku juga tidak tahu.
    Ternyata kau sama saja!” kata Jo sambil berkacak pinggang. 
    Danis angkat bicara, “Berhenti, berhenti, berhenti! Jangan berisik. Mendengar Danis membentak marah, mereka diam kembali. Makin berfikir keras bagaimana keluar dari kebosanan dan ketidaktahuan yang mereka alami itu. Namun, mereka kembali tersadar bahwa kediaman dan ketidaktahuan tak akan melepaskan mereka semua dari belenggu kebosanan. Lalu, setelah sekian waktu berdiam, salah satu dari mereka kembali memulai berbicara.
    “Nis, Kau mau pergi dari sini?” tanya Aine pelan.
    Yaaaa….”
    Ke mana?” sambung Jo. 
    Danis termenung, dia berfikir lama untuk menjawab pertanyaan temannya. Pada akhirnya dia pun menjawab sambil tersenyum-senyum seperti membayangkan sesuatu. “Hmmmmm….ke tempat yang indah.
    Aine menjawab malas, “Yaaa….
    Tempat yang menyenangkan.
    Yaaaa…. Di mana tempat itu?” tanya Aine dan Jo.
    Danis berfikir lama lagi, dengan gaya yang dibuat-buat pula. Namun, pada akhirnya dia pun hanya menjawab, Aku tidak tahu.
    Ah Danis… kau sama saja!” kata Aine sebal bercampur kecewa. Wajahnya mulai mengekspresikan rasa marah, dan semakin memperjelas kebosanannya.
Namun, lalu mereka berdiam kembali. Terdiam lebih lama dari sebelumnya.

*** 

Tapi, ternyata mereka bosan pula dengan kediaman itu. Maka Jo angkat bicara.
    Aku bosan juga kalua kita diam saja. Bagaimana kalau kita ke sana?
    Ada apa di sana?” tanya Aine mulai antusias, Ekspresi marahnya telah hilang. 
    “Ain, Kita tidak akan pernah tahu jika kita belum mencoba, kan.” Kata Jo dengan lembut. 
    Baik! Ayo kita ke sana!” Aine bangkit dari duduknya dengan semangat.
    Ayo!” kata Jo. 
    Hei. Ayo berangkat, Nis!, tambah Aine. 
    Ke mana?” jawabnya malas. Danis enggan beranjak dari duduknya. 
    Ke sana!’’ kata Jo sambil mengarahkan telunjuknya ke sana. 
    Ke sana… ke sini... ke situ. Ah, membingungkan.” Jawab Danis tambah kesal. 
    Ayolah pokoknya ikut!” bentak Jo dan Ain sambil menyeret kedua tangan Danis. Dengan terpaksa dan malas-malasan Danis akhirnya bangkit dari duduknya, melangkah pelan di belakang  kedua temannya.

 

    Perjalanan telah dimulai. Kita tak pernah mengerti apa yang bakal terjadi. Masa depan bukanlah kepastian. Kita tidak bisa merekayasanya, kita hanya bisa merencanakannya. Dan mereka berjalan menuju tempat yang belum pernah mereka tahu. Tempat-tempat yang tidak pernah mereka mengerti. 

     ***

    Pada akhirnya, perjalanan yang panjang telah mereka lalui. Betapa gembiranya, betapa bahagianya, betapa senengnya mereka di saat menemukan hal-hal baru, pengalaman-pengalaman baru. Mereka ingin selalu bahagia menemukan tempat-tempat baru dalam perjalanan mereka. Akan tetapi, ternyata takdir berkata lain dengan kenginan mereka. Entah kenapa, mereka kembali lagi ke tempat mereka yang semula.
    “Aku seperti tahu tempat ini.” Kata Aine agak ragu.
    Jofan melihat-lihat sekeliling sambil mengingat-ingat, “Emm, aku juga..., menurutmu Danis?”
    “Sepertinya aku juga tahu.” Jawab Danies sambil mengangguk-anggukkan kepala.
    “Hei... ini tempat kita semula, teman-teman!” Teriak Aine. 
    “Eh, benarkah? Bagaimana bisa kita kembali lagi kemari, Nis?” Jofan bertanya dengan masih kurang percaya. 
Danis geleng-geleng kepala, menggigit bibir, berkata pelan, “Aku tidak tahu, Jo.”
    “Ini karena kamu, Jo!” tuduh Aine tiba-tiba pada Jo. 
    “Akuuu...?” 
    “Yaaaa....” 
    “Bagaimana bisa?” 
    “Bagaimana bisa?! Kau melakukan perjalanan yang tidak kau tahu!” bentak Aine. 
    “Bagaimana bisa tahu, kan, jika kita tidak melakukan perjalanan? Ini bukan salahku, Aine!” bentak Jo pula tak mau kalah. 
    “Salahmu, Jo!” 
    “Bukan!” 
    “Salahmu!” 
    "Bukan!” 
    “Salahmu!” 
    “Bukan!” 
    Mereka tidak ada yang mau mengalah. Danis kesal mendengar pertengkaran mereka, “Stop! Stop! Kalian ribut saja kerjaannya! Tiap kali ribut. Tiap saat ribut. Selalu ribut. Membuatku panas, lapar, haus, bingung, sebal, bosan, pusing, marah...." 
    “Stooooopp...!” bentak Aine dan Jo bersamaan. 
    Akhirnya mereka diam kembali. Cukup lama mereka termenung lagi dalam kediaman.
    “Lantas, kita harus melakukan apa?” tanya Jo putus asa.
    Aine membalas, “Kita cari arah lain?” 
    “Ke mana?” 
    “Ke situ.” 
    “Ke situ ke mana?” 
    “Ya ke situ.” 
    “Baiklah ayo berangkat!” Jo mulai bergegas. 
    “Ayo Danis!” kata Aine dan Jo. 
    “Aku di sini saja, ya. Sendirian tidak apa-apa.” Jawab Danis pelan, masih terduduk  sambil melamun. 
    “Ayo berangkat!” kata Aine dan Jo lagi. 
    “Tidak, aku di sini.” Danis masih lesu dan mencoba menolak. 
    “Ayoo!” kata Aine dan Jo sambil menarik kedua tangan Danis. 
    “Ya sudah, baiklah!” Danis mengalah, menerima ajakan mereka. Aine, Jofan, dan Danis berangkat pergi. Ketiga orang itu telah beranjak. Entah ke mana tak ada satu pun yang tahu. Entah mereka akan sampai di mana, juga tidak ada yang tahu.

 *** 

    Ternyata, baru sekian waktu mereka melalui perjalanan yang entah, takdir membawa mereka pada sebuah tempat. Dan tempat itu bernama semula. 
    “Kembali lagi.... Kembali lagi di sini!” Keluh Aine, menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon. 
    “Ya... kembali lagi....”, keluh Jo pula. 
    Lalu Aine bertanya sambil menguap lebar, “Kenapa kita mesti kembali ke tempat ini, sih?” 
    “Ini benar-benar sia-sia. Berbagai jalan telah kita tempuh, malah kita kembali ke tempat semula.” Jawab Jo. 
    “Yaaaa... benar-benar sia-sia, Jo.” Kata Aine, dia akhirnya merebahkan tubuhnya yang lelah. 
    Kemudian mereka semua terdiam lagi. Terdiam, terdiam, terdiam lebih lama dari sebelum-sebelumnya. Mereka merenung dalam-dalam dan lama. Tiba-tiba Danis yang biasanya lebih banyak diam daripada Aine dan Jo, kini tertawa panjang. 
    “Hahaha…. 
Aine dan Jo saling bertatapan heran, “Danis, kenapa kau tiba-tiba tertawa?” 
    “Karena aku ingin tertawa.” Jawab Danis dengan santai, masih bercampur dengan sisa-sisa tawanya. 
    “Di saat seperti ini kau malah tertawa?” tanya Jo makin heran bercampur kesal. 
    Danis mendadak jadi diam. Dia terdiam sebentar, lalu sebentar kemudian dia berkata dengan tenang dan lembut, “Teman-temanku, kalian tahu kenapa kita harus pergi, beranjak dari tempat kita semula dan melalui banyak perjalanan?” 
    “Kenapa?” 
    “Karena, dengan pergi dan beranjak dari tempat asal kita semula, maka kita akan tahu banyak hal-hal baru, pengalaman-pengalaman baru, tempat-tempat baru, teman-teman baru,....” 
    “Kenapa lagi?” 
    “Karena, dengan pergi dan beranjak dari tempat kita semula, maka kita juga akan tahu tempat kembali. Ya, kan?” 
    “Hahaha….” Aine dan Jo tertawa, lebih panjang, lebih lama, dan lebih keras dibanding Danis tadi. 
    “Kenapa tiba-tiba kalian tertawa? Danies heran. 
    “Karena kami ingin tertawa.” 
Mereka bertiga tertawa semua. Sampai kemudian mereka mulai terdiam kembali. Aine berkata, Tapi kenapa kita selalu kembali di sini?” 
    “Di sini tempat kita lahir.” Jawab Danis dengan senyum. 
    “Ya, di sini, di tempat inilah kita terlahir sebagai manusia.” Sambung Jo. 
    “Dan tempat ini?” Tanya Aine lagi. 
    “Bumi. Tempat-tempat yang kita kunjungi dalam perjalanan adalah sarana tempat kita bermain dan belajar dan menemukan banyak hal. Dan kita akan selalu pulang ke tempat kita semula, kampung halaman kita.” Jawab Jo dengan bijak. 
    “Ya. Jofan benar.” Kata Danis, kemudian merangkul teman-temannya.

 ***

    Siapapun mampu menjadi hebat dan kuat. Tetapi kita di tempat ini tidak sedang mencari nomer satu. Karena, di sini, di bumi, di dunia ini, sebuah tanah yang sangat luas yang tidak berpihak dan berkepentingan, dan tidak berdiskriminasi, mengizinkan seluruh manusia untuk hidup. Berjalan bersama, hidup bersama dan bahagia.  
    Maka mari tutup satu mata kita, lalu mata lainnya. Intip setiap sudut jiwa kita. Lihatlah, tidak ada duri belati, tidak ada pencuri, tidak ada telur yang salah sangkar. Tutup mata lainnya, jongkok dan lompat, dan berbebaslah. Lompat tinggi setinggi-tingginya juga boleh. Terserah kita yang apa adanya. Siapa yang bertahan tanpa bentuk remuk, yang tetap utuh, bangkit seluruhnya, kuat. Mainkan hidup kita dengan baik. Selesaikan hidup kita dengan baik.

 

    Jofan berkata lirih, “Mungkin ada yang merindukan kita. Dan ingin kita selalu kembali.” 
    “Siapa?” tanya Aine. 
    “Keluarga, orang-orang yang menyayangi kita, dan yang kita sayangi.” Jawab Danis.

*** 

 


(fa.)

 

 

       

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenalan Sama Gaya Hidup Minimalis

Menjadi Penganut Filsafat Stoikisme

Menemukan Kenyamanan Dengan Diri Sendiri, Bukan Berarti Kesepian