Nasehat Hujan

    Gadis cantik berambut panjang itu belum juga pindah dari tempat duduknya. Padahal, hampir satu jam yang lalu dia berdiam diri, duduk seperti orang yang sedang menunggu sesuatu dan menatap air yang mulai jatuh dari langit yang sudah mendung sejak siang. Udara dingin dan basah membuat dia melipat kedua tangannya di depan dada. Meskipun demikian, matanya terus berbinar menikmati suasana. Sepertinya, dia tak akan beranjak sebelum hujan berpamitan. 
    Teras rumahnya ternyata cukup nyaman untuk menikmati waktu senja bersama tetes-tetes air yang terus jatuh dari langit. Dia masih duduk di salah satu bangku dan berdiam diri, mungkin merenungi sesuatu. Orang-orang sudah tahu kalau diam dan merenung merupakan rutinitasnya, namun tak ada yang mengetahui rahasia di balik kebiasaan gadis itu: ia dapat berbicara dengan Gerimis dan Hujan. Sore ini, Rinai Gerimis datang menyapanya. 
    “Selamat senja Pembayun, kami dibolehkan menemuimu lagi. Apa kabar hatimu? Kami tahu kau menunggu dan sering menikmati kami sampai kami selesai. Bahkan, kau belum mandi, kan?” Mereka menyapa Pembayun sambil tertawa. 
    “Hai Gerimis, terima kasih sudah datang lagi. Dan hatiku? Ah, masih sama seperti sore kemarin. Kapan Hujan datang? Aku ingin mandi dengannya.” Pembayun tertawa, candanya juga membuat Gerimis tertawa.     
    “Kakakku sebentar lagi datang. Dia bilang akan menemuimu juga. Nanti aku akan pergi ketika kakakku datang. Kami ingin bersamamu sekarang.” 
    “Hei, apa yang membuat kalian ingin bersamaku?” 
    “Karena kau mau mengajak kami bicara.” 
    “Oh ya?” 
    “Karena kau selalu menyambut dan mensyukuri kedatangan kami, Yun.” 
    “Oh,ya?” 
    “Ya….” 
    “Pasti bukan hanya aku yang melakukannya.” 
    “Hanya kau.” 
    “Bukan hanya aku.” 
    Hanya kau, Yun.” 
    “Bukan hanya aku. Ada banyak manusia, ada banyak makhluk di bumi ini, kan?” Gerimis tidak segera menjawab pertanyaan Pembayun. 
    “Iya Pembayun, para tumbuhan yang selalu menyambut kami dengan suka cita. Namun, tidak semua manusia mensyukuri kedatangan kami,” kata Gerimis setelah beberapa detik mereka terdiam. 
    “Aku juga manusia.” Pembayun merasa agak tersinggung dengan kalimat Gerimis. 
    “Para petani yang biasanya paling banyak mensyukuri kedatangan kami. Tapi ada banyak juga yang mengeluhkan kedatangan kami, mengumpat kami, menyalahkan kami, takut basah oleh kami. Kami tahu, kau tidak seperti mereka,” kata Gerimis sambil tersenyum. 
    “Ah, manusia seperti itu masih wajar.” 
    “Kau mengira itu wajar, Yun? Ya, tentu saja. Kau tidak salah. Memang sudah wajar bila manusia banyak tidak bersyukur!” Gerimis menegaskan kalimatnya, gantian mereka yang agak tersinggung. 

*** 

    Pembayun memilih diam sejenak, tersenyum menanggapi kalimat Gerimis. Kedatangan gerimis dan hujan memang bisa jadi berkah untuk sebagian manusia di waktu tertentu, apalagi di saat setelah kemarau panjang dan krisis air bersih. Namun, bagi beberapa manusia lainnya kedatangannya kadang dianggap agak menghambat beberapa aktivitas dan beberapa mata pencaharian yang lain, juga bila hujan deras berlarut berhari-hari bisa menimbulkan bencana alam. Namun, Pembayun tidak ingin membantahnya lagi. Dia takut Gerimis makin tersinggung. Lagipula, diharapkan maupun tidak diharapkan, gerimis dan hujan memang sudah menjadi siklus, menjadi bagian dari mekanisme alam semesta, di bumi ini. 
    Ah iya, Yun, kakakku sudah datang. Aku harus pergi. Selamat bermain dengan Hujan, semoga kau selalu bersyukur atas apa pun yang diberikan Tuhan untuk hidupmu.” Gerimis berpamitan meninggalkan Pembayun . 
    Terima kasih, selamat pergi Gerimis.” Pembayun tersenyum.

 ***

    Semilir angin menerpa wajah Pembayun. Menebarkan aroma tanah basah. Membuat semakin dingin suasana, membuat Pembayun semakin merapatkan tangannya di depan dada. Mata Pembayun terpejam beberapa detik, sesekali dingin terlampau nikmat untuk dinikmati. Tiba-tiba ada lagi yang menyapanya. 
    “Pembayun….” 
    “Hai, selamat datang, Hujan. Apa kabar kalian?” Pembayun tersenyum menyambut mereka. 
    “Kami baik. Kau belum mandi? Kenapa? Kau pasti menunggu kami.” Mereka tertawa. 
    “Ya, aku menunggu kalian.” 
    “Oh ya, adikku tadi bilang apa saja padamu?” 
    “Ahaa, adikmu tadi bilang nananinaaa dan rahasia,” kata Pembayun sambil tertawa lebar. 
    Ah, kau selalu bercanda. Sana mandi, jalani hidupmu! Jangan duduk di situ melulu . Aku akan menjalani tugasku, membasuh bumi yang sudah tua ini.” 
    “Iya, jadilah pelayan yang baik ya, Hujan ya. Aku belum ingin mandi, masih ingin menikmati kehadiran kalian.” 
    “Tentu saja, kami akan selalu setia menjadi pelayan yang baik untuk kalian semua, meski kedatangan kami sering tidak disyukuri.”   
    Kalian selalu datang karena Tuhan, kan? Itu artinya kalian sudah setia. Aku juga akan setia mensyukuri kedatangan kalian.”

 ***

    Hujan hanya tertawa mendengar kalimat Pembayun. Mereka tahu bahwa Pembayun tulus dan apa adanya. Itulah yang membuat mereka selalu menyapa Pembayun bila mereka datang. 
    “Ah iya, kami punya sesuatu untukmu.” 
    “Apa?” Pembayun penasaran. 
    “Nasihat.” 
    “Oh, ya?” Pembayun antusias menatap mereka karena penasaran. 
    “Iya.” 
    “Em, nasihat tentang apa?” 
     “Kau perempuan, kan? Kau juga anak sulung, kan?” Pembayun hanya mengangguk menjawab pertanyaan mereka. 
    “Rumekar Ageng Pembayun, jadilah perempuan yang cantik, lembut, dan menyenangkan.” Pembayun mengangguk pasrah sambil tersenyum mendengar nasihat Hujan. 
    “Jadilah perempuan yang baik, punya cita-cita baik, dan bisa diandalkan.” Pembayun mengangguk pelan, masih dengan senyum. 
    “Jadilah perempuan yang sopan, santun, dan ramah pada orang lain.” Kini dia masih tersenyum. 
     “Jadilah perempuan yang tangguh, bertanggung jawab, dan mengayomi adik-adikmu. Jadilah…. ” Belum selesai Hujan bicara, Pembayun sudah memotong. 
    “Wah, banyak sekali, Hujan, sudahlah ya aku mau mandi saja.” Pembayun sedang malas diceramahi banyak hal oleh Hujan, dia hendak beranjak dari kursi terasnya. 
    “Ahaa, iya iya, ini terakhir, Yun. Jadilah perempuan yang selalu ikhlas, penyayang, dan penyabar. Kami percaya, kau bisa.” Hujan tersenyum penuh penghargaan. 
     “Iya, Hujan, iya deh…. Terima kasih, Hujan. Kalau kalian lama tidak datang, aku pasti sedih dan akan merindukan kalian. Bumi yang sudah tua ini akan makin terlihat tua karena lama tak terbasuh. Kalian dan adik-adik kalian selalu menjadi penyejuk, selalu menjadi pelepas dahaga, selalu menjadi pengusir gersang. Tanah akan bahagia, tumbuh-tumbuhan bersemi, daun-daun akan ceria.” 
    “Hanya yang mensyukuri kedatangan kami yang akan merindukan kami.” 
    “Oh, ya?” 
    “Iya.” 
    “Em, maafkan aku ya, Hujan.”   
    “Kenapa Pembayun?” 
    “Tidak bisa berjanji untuk menuruti semua nasihat-nasihatmu tadi. Aku hanya bisa berusaha,” ucap Pembayun sedikit menunduk sedih, berkata pelan pada mereka. Hujan hanya terdiam. Lalu, hampir dua jam lebih lamanya tidak ada percakapan antara Hujan dengan Pembayun. Mereka sama-sama diam. Pembayun menatap air yang ditumpahkan dari langit. Tubuhnya memang di tempat itu, tapi entah hatinya sedang terbang ke mana-mana. Pikirannya merenungi nasihat-nasihat Hujan. Dia beberapa kali mengusap wajah dan menghela napas panjang. 

 ***

    “Pembayun oh Pembayun….” Hujan tersenyum. 
    “Hujan oh Hujan….” Pembayun juga tersenyum membalas mereka. 
    “Kau cantik sekali, Pembayun.” 
    “Oh, ya?” 
    “Ya….” 
    Pembayun jadi terdiam mendengar pujian dari Hujan. Selalu seperti itu. Hujan selalu memuji cantiknya Pembayun setiap kali mereka datang. Membuat dia bingung kali ini, karena biasanya dia hanya mengucap terimakasih. 
    “Kalian lebih cantik daripada aku, Hujan. Kalian cantik sekali,” kata Pembayun setelah beberapa menit dia terdiam. 
    “Oh, ya?” 
    “Ya…,” ucap Pembayun sambil tersenyum. 
    “Hahaha….” 
    “Kenapa kalian tertawa?” tanya Pembayun penasaran. 
    “Karena kami ingin tertawa,” jawab Hujan. 
    Tapi Pembayun hanya diam mendengar tawa mereka. Dan Hujan juga ikut diam. Mereka sama-sama terdiam lagi sampai beberapa menit lamanya. Diam selalu menjadi selingan bagi mereka. 
    “Ah, dasar kalian! Hahaha….” 
    “Kenapa kau ikut tertawa?” 
    “Karena aku juga ingin tertawa,” jawab Pembayun. 
    Mereka akhirnya tertawa bersama-sama. Terlihat bahagia sekali. Tapi tiba-tiba tawa Hujan berhenti. 
    “Oh iya, kami harus pergi, Pembayun. Tuhan menyuruh kami pulang. Lihatlah, semua sudah basah. Tugas kami sudah selesai. Kami terpaksa meninggalkanmu. Kau tidak apa-apa, kan?” Hujan berkata dengan intonasi sedih, padahal mereka baru saja tertawa bersama. 
     “Kalian akan pulang ke mana lagi?” 
     “Ya, ke tempat kami pulang.” 
     “Di manakah?” 
     “Di sana, Pembayun.” 
     “Di sana di mana? Boleh aku ikut?”
     “Jangan.” 
     “Kenapa?” 
     “Kau tidak perlu ikut. Kau harus tetap di sini. Di bumi. Kami harus kembali, juga untuk menjalankan tugas selanjutnya. Terima kasih, Pembayun. Selamat menjalani kehidupan.” 
    “Hujan, aku ingin ikut….” 
    “Tidak bisa, Pembayun. Maaf tidak bisa. Jangan lupa nasihatku, ya.” 
    “Baiklah kalau tidak boleh ikut tidak apa-apa, terima kasih, selalu kuingat, aku akan berusaha. Kuharap kalian datang lagi. Selamat jalan Hujan….” Pembayun tersenyum melepas kepergian Hujan. Dan hujan pun akhirnya mulai mereda. 
   Pembayun kemudian bangkit dari imajinasinya, menatap sekitar, hari sudah gelap ternyata. Lampu-lampu sudah banyak yang mulai dinyalakan, sisa-sisa hujan  masih terasa. Pembayun menghela napas panjang, kemudian melangkah pelan masuk ke dalam rumah. Dari dapur, ibunya  sudah berkali-kali memanggilnya. Menyuruhnya untuk segera mandi dan menyiapkan untuk makan bersama keluarga. 
    "Iya, Ibu, sabarlah sebentar ya," ucap Pembayun sembari beranjak mengambil handuk, dia bergegas mandi.

           ***

(fa.)

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenalan Sama Gaya Hidup Minimalis

Menjadi Penganut Filsafat Stoikisme

Menemukan Kenyamanan Dengan Diri Sendiri, Bukan Berarti Kesepian