Yang Tetap Ada Meski Ia Telah Tiada untuk Selamanya

    Ibu pernah bilang tanda-tanda orang mau meninggal dunia. 2019, saat itu Ibu sudah sakit, suatu waktu terdengar kabar salah satu tetangga kami meninggal dunia. Jadi, kami membahas tentang kematian, bersama adik-adik saya. 

    Saya sembari memindahkan pakaian selesai bilas ke alat pemeras, Ibu rebahan di ruang tengah, ada beberapa adik saya juga. Kata Ibu, orang yang menjelang meninggal dunia didatangi oleh Malaikat, tidak  tahu persisnya didatangi di waktu apa dan diberitahu tentang apa tepatnya. Tapi orang yang didatangi itu tahu jika dirinya sudah dekat dengan kematiannya, hanya Ia tidak bisa bilang pada kerabat dekatnya bahwa Ia akan mati. Ya kemungkinan hanya bisa memberikan kode-kode. 

    Kami berdiskusi, mengobrol dengan Ibu, saling menyimak juga, ya tentang tanda-tanda menjelang kematian, adik-adikku tahu hal yang Ibu bilang. Terus terang, saya tidak ada perasaan gimana-gimana. Saya membahas itu dengan santai. Tidak ada prasangka bahwa saya akan kehilangan Ibu untuk selamanya, tidak lama setelah kami berbincang tentang kematian.

    Sekitar satu tahun setelah itu, saya merasakan tanda-tanda tentang perbincangan kami itu. Beberapa bulan sebelum Ibu tiada untuk selamanya, keadaan Ibu naik turun, maksudnya kesehatan Ibu membaik, kemudian memburuk, kemudian membaik lagi, kemudian memburuk lagi. Terkadang terbesit bahwa hari kehilangan itu akan kejadian juga, entah kapan, mungkin dalam waktu dekat, tetapi saya sering segera menepis pikiran itu, saya memaki diri sendiri karena telah berpikiran buruk tentang Ibu, dan saya menangis karena pikiran buruk itu, karena sebagian hati juga ada rasa optimis bahwa Ibu akan sembuh, tetapi juga tanda-tanda tidak bisa dipungkiri, terutama tanda-tanda fisik. 

    Setiap mijetin Ibu, nggak sampai hati saya, setiap menyentuh tubuh yang saya ketahui itu merupakan salah satu tanda-tanda, perang di dalam hati dan pikiran, antara mempercayai tanda-tanda, atau menepis tanda-tanda itu yang saya anggap sebagai pikiran negatif terhadap Ibu.

    Pernah suatu hari kejadian perkara galon air minum. Yang tidak akan bisa saya lupakan seumur hidup saya. Ibu bilang, "Kono tulung tukokno galon, iki duit e", (Tolong belikan air minum galon, ini uangnya). Saat itu saya baru saja pulang kerja, duduk, lepas sepatu, nyalain kipas angin, mau rebahan sebentar. Ibu kalau nyuruh tidak spesifik nyebut nama anak-anaknya, tapi untuk semua anak-anaknya yang mau. Saat itu ada beberapa adik saya juga, lagi ngegame online. Tidak ada yang menanggapi soal beli galon. Saya juga diam saja, leyeh-leyeh sambil kipasan.

    "Gek tukokne galon, tho," Ibu mengulangi kalimatnya. Saya menanggapi, "Kosek Bu, nek aku iseh sayah tur sumuk, kipasan sedelo, mengko yo bakalan ono sing tumbas galon. Biasane kan bocah-bocah yoen sing tuku. Kono lah Dek, ndang mangkat tuku", (Sebentar Bu, aku masih capek, gerah, mau kipasan dulu, nanti juga bakalan ada yang beli galon. Biasanya kan emang anak-anak yang beli. Dek, segera beli lah), tapi semua tetap fokus ngegame, tidak beranjak dari handphone. Ya saya maklum, kalau game online memang tidak bisa ditinggal begitu saja, karena mainnya dengan team. 

    "Gek wis tho, mumpung Ibu iseh ono, selak Ibu raono, Ibu ra bakal akon tuku galon meneh," (segera lah, mumpung Ibu masih ada, kalau udah nggak ada Ibu, Ibu nggak suruh beli galon lagi), kata Ibu terdengar sedih. Deg! banget, berdesir hati saya mendengar itu, perih rasanya. Ibu yang biasanya sangat shabar menghadapi semua anak-anaknya, tidak pernah marah, tidak pernah mengeluh, lalu kami mendengar ucapan itu pastilah mengagetkan bagi kami. Sebenarnya Ibu bukan marah, tidak dengan intonasi suara tinggi, hanya sedikit memberi tekanan pada ucapannya. Tapi bagi kami, itu tetaplah membuat kami kaget.

    Langsung beranjaklah salah satu adik saya, berangkat beli galon, tapi saya lupa apakah adik perempuan atau adik laki-laki. Saya hanya diam, mencerna kalimat Ibu, dengan perasaan yang tidak bisa saya jelaskan banyak.

    Ada sesal dan sedih yang sampai saat ini terus ada di benak saya, kenapa saya mengucapkan itu pada Ibu, kenapa saya tidak segera mengiyakan permintaan Ibu, sampai Ibu berucap kalimat itu. Menambah nampak tanda-tanda itu. Sampai saat ini setelah kepergian Ibu, rasanya saya ingin mengulang kejadian itu dan mengiyakan permintaan Ibu, walau Ibu menyuruh belinya di Jogja, 30 km dari rumah, saya akan bilang tidak masalah. Tapi apalah arti kesanggupanku itu di saat ini. 

    Kisah yang saya bagi ini bukan untuk meratapi kepergian Ibu, semata-mata ada harap saya supaya yang masih bersanding dengan Ibunda di dunia ini, tidak menolak permintaan Ibu, selama masih terjangkau, itu ladang pahala. Selagi masih ada waktu. Saya tidak sedang menyalahkan siapa-siapa, yg telah terjadi ya memang begitulah adanya. Ibu dan segala kenangannya tetap ada, hingga kapanpun.

(fa.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenalan Sama Gaya Hidup Minimalis

Menjadi Penganut Filsafat Stoikisme

Menemukan Kenyamanan Dengan Diri Sendiri, Bukan Berarti Kesepian