Slow Living Di Antara Laju Kehidupan Yang Terus Berkembang

    Hal pertama yang ingin saya katakan di sini adalah, saya termasuk orang yang percaya bahwa hidup setelah kematian itu benar-benar ada. Kehidupan di dunia ini hanya sebagian saja dari perjalanan kita. Saya percaya juga bahwa kehidupan akhirat itu benar-benar ada, dan kita harus melalui kematian dahulu untuk melanjutkan tahap-tahap selanjutnya menuju akhirat. Lantas, saya mulai berpikir hidup yang singkat di dunia ini mau saya jalani bagaimana. Berpikir juga tentang hidup yang seperti apa yang ideal bagi saya dan mungkin keluarga saya kelak. Sementara saya saat ini hidup di usia rentang seperempat abad dan di era perkembangan teknologi yang tentunya akan terus berkembang serta makin canggih. Memang itu sangat mempermudah kegiatan kita sehari-hari. Tetapi, semua itu membuat kehidupan menjadi serba cepat sampai akhirnya kita bisa saja kelelahan atau bahkan bisa juga mempengaruhi kesehatan mental kita. 

    Di tengah berbagai hiruk pikuk dunia dan segala perkembangannya, kita sering kali terpaksa ikut lomba lari yang sebenarnya mungkin tidak ingin kita ikuti. Namun, karena kebanyakan orang masih haus akan validasi dari orang lain, termasuk saya juga dulu seperti itu, maka lomba lari itu seakan menjadi keharusan. Kita seakan-akan juga merasa bahwa kita harus selalu lebih cepat dari orang lain, kita tidak ingin ketinggalan, kita harus berpacu, dengan alasan waktu tidak bisa diulang kembali, kesempatan tidak datang dua kali, dan sebagainya. Itu boleh jadi benar, namun, mungkin saja apa-apa yang lebih cepat dari yang semestinya, atau lebih cepat dari kebanyakan orang lain, belum tentu itu sepenuhnya baik untuk kita. Maka, hal utama yang ingin saya sampaikan di sini adalah tentang bagaimana konsep slow living ini berlaku di antara hiruk pikuk dunia dengan segala perkembangannya.

Apakah slow-living cocok sebagai konsep hidup di zaman ini?
Cocok atau tidaknya konsep hidup ini sebenarnya dikembalikan ke masing-masing individu. Kita hidup di abad ke-21 yang berbagai hal sudah mulai canggih, namun, di antara berbagai kecanggihan yang ada di zaman ini, hidup sederhana dan santai atau sering juga disebut slow living ternyata menjadi dambaan banyak orang. Slow living ini kalau diartikan secara bahasa artinya memang "hidup santai", tetapi di sini saya mengartikan slow living adalah suatu konsep melambatkan laju kecepatan dalam hidup sehingga kita menjadi lebih menghargai hal-hal sederhana yang terlewat. Mungkin hal-hal itu yang didambakan oleh sebagian masyarakat urban. Bagi mereka yang hidup di kota metropolitan, yang sehari-harinya sangat sibuk, yang keluar rumah sejak matahari belum terbit sampai matahari terbenam, bekerja dari pagi sampai petang, bahkan ada juga yang setiap hari bekerja sampai malam karena lembur banyak pekerjaan, untuk memutuskan beralih ke slow living tentunya bukan keputusan yang mudah. Dari beberapa pengakuan mereka yang telah menjalani konsep slow living, hidup mereka menjadi terasa lebih esensial dan damai. Para slow living juga biasanya tidak mudah stress ketika sedang mendapatkan tekanan, masalah, dan berbagai persoalan, mereka justeru akan cenderung lebih tenang.

Slow living bukan berarti slow-motion
Kita tahu bahwa dunia ini tidak benar-benar santai meskipun kita melambat. Atau kita mungkin hanya sekedar menjalani hidup saja, tanpa tujuan, pasrah saja tanpa usaha yang sungguh-sungguh, lebih banyak rebahan dan cenderung bermalas-malasan, dunia tentu tidak peduli dan akan tetap terus maju. Hidup juga tidak sesantai itu meskipun kita menerapkan konsep slow living. Kita tentu tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita sebagai makhluk hidup. Kita tentu juga mempunyai tanggung jawab masing-masing, mungkin bagi yang sudah berkeluarga dan sudah menjadi orang tua. Bahkan, banyak juga para orang tua yang bekerja sangat keras demi kehidupan yang layak dan masa depan anak-anak mereka, tetapi justeru kurang perhatian dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak mereka secara personal. Tidak memungkiri bahwa di saat kita menjadi orang tua kita juga ingin finansial yang stabil, atau kita ingin karir yang meningkat, supaya masa depan anak anak kita terjamin, kita bekerja sangat keras untuk mencapai kemakmuran, yang tentunya untuk anak-anak kita dan untuk keluarga kita, tetapi apakah harus segigih itu sehingga kita kemudian kehilangan tujuan dari kita menjadi orang tua. Di sisi lain, ada juga para orang tua yang begitu santai meskipun anak mereka banyak, sedangkan mereka secara finansial justeru sama sekali belum stabil, mereka pasrah akan keadaan dan enggan berusaha giat. Ada sebagian kepala keluarga yang mereka memilih membeli rokok dan kopi daripada protein untuk anak-anaknya, sembari bersantai dan bilang bahwa rezeki sudah ada yang mengatur, jadi santai saja. Padahal, konsep slow living adalah cara memperlambat laju kehidupan kita dari berbagai hiruk pikuknya dunia yang sudah mulai serba cepat supaya kita tidak begitu kelelahan. Jadi, bukan berarti kita pasrah begitu saja dengan keadaan. Apalagi jika sudah berkeluarga dan ada anak-anak. Mereka jelas membutuhkan pendidikan, makanan yang sehat, serta kehidupan yang layak.

Apakah slow living berarti hidup tanpa ambisi apa-apa?
Istilah slow living membuat kita bertanya-tanya apakah seseorang dengan konsep hidup seperti itu sama sekali tidak punya ambisi dalam hidupnya. Padahal, di zaman modern yang apa-apa sudah mulai serba digital dan praktis, orang-orang kebanyakan berkeinginan untuk terus maju dengan pesat, tidak ingin dianggap tertinggal. Karena itu, kita juga jadi berambisi terhadap suatu hal, suatu barang atau suatu pencapaian. Kita menganggap juga kalau kita mencapai hal-hal yang menjadi ambisi kita, itu adalah sebuah prestasi atau keberhasilan. Tetapi ternyata, selama ini yang kita persepsikan sebagai keberhasilan itu sebetulnya adalah pemenuhan keinginan, bukan semata-mata pemenuhan kebutuhan. Namun, tidak berarti juga seseorang dengan konsep hidup slow living hanya pasrah saja menjalani hidupnya dan tidak mempunyai keinginan. Karena sejatinya kita semua juga manusia biasa yang tentu mempunyai hasrat, mempunyai keinginan. Hanya saja, para slow living perlu untuk memikirkan seberapa rasional keinginan tersebut bagi dirinya.

Hidup mindfulness dengan slow living
Menjalani slow living membuat saya hidup dengan sadar, dan lebih menghargai momen-monem kecil atau momen-momen sederhana yang terjadi di setiap harinya di hidup saya. Dampak positif yang sangat saya rasakan adalah beribadah menjadi lebih fokus, saya juga menjadi lebih dekat dengan keluarga. Hal bagusnya lagi adalah, saya bahagia meromantisasi hal-hal kecil dan sederhana, semisal sesekali makan/minum lebih pelan, menatap langit dengan perasaan takjub, sesekali beberes, memasak, dan mencuci dengan lebih santai, atau yang biasanya saya mencuci pakaian menggunakan mesin cuci, sesekali saya mencuci pakaian menggunakan tangan, menyediakan hari tertentu untuk tanpa sosial media, menulis jurnal harian, dan banyak hal lainnya. Itu memberikan semacam perasaan bahagia bagi saya, di samping saya juga merasa puas terhadap diri saya sendiri. Lebih banyak waktu yang berkualitas untuk keluarga juga merupakan salah satu hal positif yang sangat saya rasakan setelah saya berubah ke konsep slow living. Biasanya para slow living mempunyai alasan personal mereka masing-masing kenapa mereka kemudian berubah halauan hidupnya menjadi slow living. Jadi, itu bisa juga dikatakan sebagai keputusan hidup yang sangat pribadi/personal. Setiap orang mungkin harus menjalani hidupnya dulu, sampai pada momen merasa bahwa, "Oh, saya harus pelan-pelan mulai merubah hidup saya," dan tidak semuanya dilalui dengan mudah. Berubah itu tidak selalu menyenangkan, perlu keputusan dan usaha. Selain itu, sejak berubah ke slow living saya belajar menghilangkan rasa kemelekatan terhadap hal-hal yang sama sekali tidak bisa selalu saya genggam, seperti kemelekatan terhadap pekerjaan, kemelekatan terhadap harta benda, kemelekatan terhadap barang-barang yang saya sukai. Pekerjaan, harta benda, atau bahkan orang-orang yang saya sayangi, semua itu bisa saja hilang sewaktu-waktu. Dan ketika hal-hal itu sudah tidak bersama saya, sudah tidak saya genggam, saya bisa menjadi lebih mudah untuk ikhlas, lebih mudah untuk legowo merelakan.

    Pada intinya slow living membuat saya menyadari bahwa hidup ini tidak harus serba cepat. Ada beberapa hal yang mungkin memang tidak perlu cepat-cepat, tidak perlu tergesa. Dan akhirnya slow living ini menjadi pilihan oleh orang-orang dari berbagai kalangan dan latar belakang. Semuanya mempunyai alasan personal mereka masing-masing yang membuat mereka beralih ke slow living. Mungkin konsep hidup ini membuat mereka bisa bernafas lebih lega, atau mungkin hidup mereka menjadi lebih sehat, menjadi lebih berkualitas, dan alasan-alasan lainnya. Terus terang saja, saya merasa terselamatkan dari hal-hal yang berkemungkinan membuat saya terpuruk. Jujur saja, slow living ini memang mempersimpel hidup saya, membuat saya hidup lebih tenang dan lebih nyaman. 

(fa.)

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenalan Sama Gaya Hidup Minimalis

Menjadi Penganut Filsafat Stoikisme

Menemukan Kenyamanan Dengan Diri Sendiri, Bukan Berarti Kesepian