Menjadi Penganut Filsafat Stoikisme

        Stoicism atau stoikisme mungkin masih terdengar asing bagi sebagian banyak orang. Namun, itu sebenarnya bukan hal baru, stoikisme justeru sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Bagi kita yang suka membaca tentang masa lalu tentu tahu bahwa Yunani merupakan peradaban yang sangat maju pada zamannya. Yunani Kuno juga menjadi bagian penting dalam sejarah dunia dan perkembangan ilmu pengetahuan. Bagi saya, stoikisme adalah salah satu hal paling bermanfaat yang pernah saya temukan dalam hidup, yang mengubah cara pandang dan berpikir saya secara utuh dan membantu saya menghadapi masalah maupun menghadapi diri saya sendiri. Dan mungkin, manfaat yang besar ini juga bisa dirasakan oleh teman-teman yang membaca, karena itu saya dengan senang hati menulis di sini dan berbagi poin-poin yang saya tahu mengenai stoikisme.

Apa itu stoikisme?
Karena masih terdengar asing dan sepertinya agak sensitif, maka saya akan memastikan dulu bahwa stoikisme itu bukan sebuah aliran kepercayaan, bukan sebuah sekte, bukan sebuah organisasi, bukan pula agama, tetapi stoikisme ini merupakan salah satu aliran filsafat yang bisa membantu kita untuk mengontrol emosi negatif lalu mengamplifikasi kebahagiaan dan rasa syukur yang kita rasakan, sederhananya seperti itu. Lalu, dari yang pernah saya baca, poin pentingnya adalah, stoikisme ini tidak ada tumpang tindih dan bergesekan dengan kepercayaan atau agama apapun, termasuk pada agama yang saya anut, yaitu agama islam. Karena di agama islam yang saya anut juga mengajarkan tentang sikap qanaah, tawakal, keikhlasan, dan stoikisme esensinya juga tentang hal-hal itu. Dari yang saya pelajari, antara filsafat stoikisme dan ajaran islam itu sama sekali tidak berbenturan. Pada intinya, filsafat stoikisme ini adalah hal yang bagus untuk kita pelajari bersama.

Dari membaca saya tahu mengenai stoikisme, pengertian stoikisme adalah sebuah aliran filsafat yang asalnya dari Yunani Kuno, pada zaman kependudukan Romawi, dan dibawa oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM, dan masih terus berkembang sampai saat ini. Ada koneksi antara Marcus Aurelius sang kaisar dan Epictetus, yang pada waktu itu adalah seorang budak, mereka yang terus mengembangkan ajaran dari Zeno tersebut. Jadi, yang bisa saya bilang di sini adalah stoikisme itu sangat inklusif, bukan filsafat yang pada umumnya dianggap sulit dipahami karena biasanya menggunakan beberapa bahasa yang kurang familier, bukan pula sebuah filsafat yang hanya dinikmati oleh kalangan masyarakat tertentu saja. Artinya, guru-gurunya pun bukan harus orang yang berstatus sosial bagus ataupun bangsawan, bisa saja seorang kaisar, seorang petani, seorang pedagang, bahkan bisa juga seorang budak. Kalau kita pelajari lebih dalam lagi, kita akan tahu bahwa banyak sekali orang dari berbagai kalangan dan dari berbagai latar belakang yang menganut aliran filsafat ini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pada umumnya, orang-orang yang menganut aliran filsafat stoicism atau stoikisme ini menyebut dirinya sebagai seorang stoic.

Bagaimana seorang penganut stoikisme memandang kehidupan?
Sebenarnya, mendefinisikan stoikisme itu agak kompleks, karena cakupannya sangat luas, dan terus terang saja bahwa saya juga masih terus belajar. Tentu saja masih banyak hal yang harus saya pelajari. Namun, di sini saya akan menjelaskan sebisa saya dengan cara yang paling sederhana. Dan saya harap penjelasan saya di sini akan mudah dipahami untuk kemudian bagi yang tertarik dengan stoikisme akan merasakan manfaatnya.

Jadi, sederhananya adalah, stoikisme mendefinisikan bahwa hidup ini terbagi dalam dua dimensi. Yang pertama adalah dimensi internal, yang kedua adalah dimensi eksternal. Maka, inilah yang akan dinamakan dikotomi kendali. Di sinilah stoikisme memastikan di mana sebenarnya kendali kita atas dua dimensi tersebut. Dimensi internal adalah segala sesuatu yang berada dalam kendali kita secara penuh. Kehendak kita, pikiran kita, sikap kita, etos kerja kita, komitmen kita, aksi kita, respon kita, ucapan kita, itu semua berada penuh pada kendali diri kita sendiri. Sedangkan dimensi eksternal adalah segala hal yang berada di luar kontrol diri kita, yang sama sekali tidak bisa kita kendalikan, seperti misalnya pendapat orang lain, pandangan orang lain terhadap kita, respon orang lain terhadap hal-hal yang telah kita lakukan, dan sebagainya. Kita bisa melakukan sebuah aksi dan orang lain bisa melakukan respon maupun reaksi atas aksi kita, dan hal itu benar-benar di luar kendali kita. Permasalahannya adalah, manusia pada umumnya menaruh faktor kepuasan dan kebahagiaannya pada dimensi eksternal, yang mana sebenarnya itu tidak bisa dikontrol sama sekali. 

Filsafat stoikisme ini datang untuk menyadarkan kita bahwa faktor kebahagiaan dan kepuasan itu bisa kita alihkan dari dimensi eksternal ke dimensi internal. Inilah yang menjadi esensi dari ajaran filsafat stoikisme. Bahwa kita sebenarnya tidak perlu terlalu risau atas hal-hal yang memang tidak bisa kita kontrol. Dengan begitu, kita justeru akan lebih fokus pada dimensi internal, yang mana hal-hal di dimensi internal itulah yang masih bisa kita kontrol.

Bagaimana seorang penganut stoikisme memandang kegagalan & menghadapi hal-hal yang di luar kendalinya?
Dari sini mungkin akan ada orang-orang yang mulai tertarik dengan stoikisme, karena di sinilah kita akan membahas manfaat filsafat ini. Saya akan memberi contoh sederhana, misalnya kita membuat sebuah karya tulis, atau karya lukisan, atau misalnya juga yang lebih luas dan melibatkan cukup banyak orang adalah karya pertunjukan teater. Maka, persiapan kita, latihannya kita, belajarnya kita untuk menghasilkan karya tersebut, itu semua berada di bawah kontrol/kendali kita. Sedangkan komentar orang lain, penilaian orang lain, tanggapan orang lain terhadap karya kita, itu semua sama sekali tidak bisa kita kontrol, karena berada di dimensi eksternal. Dan ketika kita menaruh kepuasan serta kebahagiaan kita di dimensi eksternal itu, artinya kita baru merasa bahagia & puas ketika kita mendapatkan komentar yang bagus dari orang-orang misalnya, dan kita menganggap bahwa karya kita sukses hanya kalau feedback-nya bagus, penilaiannya bagus, maka besar kemungkinan kita juga tidak akan selalu mendapatkan kepuasan/kebahagiaan yang kita bayangkan. Namun, ketika faktor kepuasan dan kebahagiaannya kita alihkan di dimensi internal, misalnya kita sudah merasa bahagia & bersyukur kalau tulisan/karya kita sudah sesuai dengan apa yang kita rencanakan, dalam proses pembuatannya juga lancar, dan kita sudah melakukan yang terbaik untuk mewujudkan karya itu, maka kita akan merasa lebih damai & tenang menghadapi apapun respon/tanggapan orang lain terhadap karya kita. Dan kalaupun kita merasa gagal dalam hal apapun, kita juga tidak akan merasa terlalu terpuruk maupun terlalu berlebihan menyalahkan keadaan serta menyalahkan diri kita sendiri.

Atau contoh sederhananya lagi, misalnya kita adalah pekerja kantoran di sebuah perusahaan, maka integritas, komitmen, dan dedikasi kita pada pekerjaan, itu semua ada di kendali kita, ada di dimensi internal. Namun, keputusan untuk menaikkan gaji, menaikkan jenjang karir atau jabatan kita, lalu tanggapan semua rekan kerja kita atau bagaimana penilaian atasan kita kepada kinerja kita, semua itu berada di dimensi eksternal, jadi, sama sekali tidak bisa kita kontrol. Dan kita sering kali merasa ketidakpuasan dalam bekerja hanya karena kita merasa tidak mendapatkan apa yang kita mau, tidak sesuai dengan ekspektasi kita, dan sementara kita merasa telah melakukan segalanya, merasa telah berjasa. Pada akhirnya kita jadi uring-uringan, merasa kesal bahkan marah. Karena kita menaruh faktor kebahagiaan & kepuasan kita di dimensi eksternal. Hal itu dinamakan 'dikotomi kendali' di sebuah filsafat stoikisme.

Bagaimana rasanya setelah menerapkan filsafat stoikisme dan menjadi stoic?
Seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa stoikisme ini adalah salah satu hal yang paling bermanfaat bagi saya, karena setelah menjadi stoic saya bisa menghadapi diri saya sendiri, dari rasa cemas, kekhawatiran yang berlebihan, juga over-thingking dan sebagainya. Stoikisme ini menolong saya dari berbagai hal yang berkemungkinan membuat saya kacau, sedih maupun terpuruk. 

Stoikisme juga mengajarkan kita untuk bersikap rasional dan realistis. Merespon semua hal dengan rasionalitas dan realistis. Artinya, ketika kita akan mengambil keputusan, melakukan sesuatu, bertindak, maupun berucap, kita sudah berpikir kemungkinan terburuknya saat kita melakukan hal tersebut. Dengan begitu, apapun yang terjadi dan apapun yang kita dapatkan, kita akan lebih siap dan lebih bisa menerima. Di dalam ajaran islam disebut sebagai sikap qanaah, dan dalam istilah jawa disebut sikap legowo. Seperti kata Seneca, salah satu filsuf stoikisme, "Manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apapun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang dia belum miliki, dan dengan gembira memaksimalkan apa yang telah dia terima." Artinya, kita boleh saja enjoy dengan hal-hal 'duniawi', menikmati apapun yang kita dapatkan. Tetapi, stoikisme juga mengingatkan diri kita untuk tidak bergantung atau melekat kepadanya, yaitu dengan melihat hal-hal tersebut secara "apa adanya", dan bahwa itu semua bisa hilang sewaktu-waktu karena tidak di bawah kendali kita. Seperti pekerjaan, kesehatan, barang-barang, kendaraan/harta benda, pasangan, orang-orang yang kita cintai & kita sayangi, dan sebagainya itu semua bisa hilang sewaktu-waktu. Stoikisme mengajarkan kita untuk menghilangkan kemelekatan pada hal-hal tersebut, supaya kita bisa lebih bijak menghadapi kehilangan.

Selain itu, di era keterbukaan informasi yang tentunya begitu mudah kita dapatkan di berbagai platform di internet, seperti media sosial, sebagai contohnya instagram, kita sering merasa insecure atau rendah diri hanya karena kita melihat pencapaian-pencapaian orang lain. Kita berpikir apa yang salah dari hidup kita, mungkin kita merasa begitu tertinggal, kenapa orang lain begitu maju, dan kita berpikir kenapa hidup kita cuma gini-gini saja, sedangkan teman-teman kita mungkin sudah mendapatkan pencapaian-pencapaian yang menurut kita menakjubkan. Dan kita terjebak dalam lomba lari yang sebenarnya tidak pernah ingin kita ikuti, tapi bagaimanapun juga kita merasa harus ikut lari juga. Lalu, biasanya jadi mulai membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan mereka, terkadang itu juga bisa menimbulkan perasaan iri di hati kita, dan kemudian bisa menjadi rasa dengki. Kita akhirnya juga membeli barang yang sebenarnya tidak begitu kita butuhkan, hanya untuk memukau orang-orang yang mungkin sebenarnya tidak kita suka, dari uang yang mungkin juga sebenarnya tidak kita punya. Itulah yang masih banyak terjadi, yang pada akhirnya semua itu malah tidak baik untuk diri kita. 

Maka tidak heran, sekarang ini aplikasi pinjaman online, money game, investasi bodong, hal-hal semacam itu sangat tumbuh subur di masyarakat, bahkan itu semua terlihat sangat dipermudah. Kita terjebak dalam mentalitas yang haus akan pembuktian & validasi. Seakan-akan hidup ini adalah soal bagaimana kita diakui oleh orang lain dan bagaimana kita dilihat oleh orang lain.

Atau, kadang juga kita terlalu memikirkan ucapan-ucapan orang lain tentang kita, sehingga kita merasa tidak nyaman, sedih, rendah diri. Dan terus terang saja, saya pernah berada di fase merasakan seperti itu. Namun, bukan berarti stoikisme itu apatis, bodoamat dengan emosi negatif yang muncul. Karena emosi yang muncul itu adalah hal yang realistis, jadi bagaimanapun juga semua emosi itu penting, tidak hanya emosi positif saja. Emosi negatif seperti, rasa marah, kesal, tersinggung, iri, sedih, itu semua penting. Stoikisme justeru menyarankan kita untuk tidak menolak emosi negatif, untuk tidak memanipulasi emosi kita. Tetapi, terima saja apa yang kita rasakan, lalu untuk selanjutnya dikelola dengan lebih baik. Akui saja perasaan negatif itu, lalu tenang dan ingat bahwa stoikisme mengajarkan kita tentang dikotomi kendali. Itu yang akan membuat mental kita cenderung lebih stabil, atau bahkan lebih kuat.

Hal yang sangat membahagiakan adalah, sekarang saya sudah tidak merasa terganggu dengan pencapaian-pencapaian orang lain, dan saya tidak lagi merasa bahwa saya harus melakukan pembuktian apapun ke orang lain. Saya benar-benar tidak masalah kalaupun dianggap sebagai orang yang tertinggal, orang yang gagal, atau anggapan-anggapan lainnya, karena semua itu di luar kendali saya. Bagusnya lagi, stoikisme ini membantu saya menciptakan kebahagiaan & ketenangan saya sendiri. Dan saya menyadari bahwa rasa bahagia itu bukan terletak pada seberapa tinggi sebuah pencapaian, tetapi seberapa rasional sebuah harapan. Justeru sejak menjadi stoic saya bisa lebih fokus ke pencapaian-pencapaian kecil dalam hidup saya.

        Pada akhirnya, yang bisa saya katakan di sini adalah, stoikisme itu bisa menjadi solusi untuk orang-orang yang pernah kacau, maupun yang sedang kacau dengan dirinya sendiri, dan menjadi sarana untuk beralih ke hidup yang lebih tenang, lebih damai, lebih santai. Betapa banyak orang-orang yang memutuskan menjadi stoic dan hidup dengan hati yang lebih luas, jiwa yang lebih lapang, serta merasakan ketenangan, kepuasan dan kebahagiaannya versi mereka masing-masing.

(fa.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenalan Sama Gaya Hidup Minimalis

Menemukan Kenyamanan Dengan Diri Sendiri, Bukan Berarti Kesepian